Prof. Slamet: Reformasi Kepolisian Harus Berorientasi pada Nilai, Bukan Sekadar Restrukturisasi

0
34

Palu, 10 November 2025 – Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melalui Keputusan Presiden Nomor 122/P Tahun 2025 mendapat perhatian luas dari kalangan akademisi dan pemerhati kebijakan publik. Salah satu pandangan yang yang kritis disampaikan oleh Prof. Dr. Slamet Riadi Cante, Guru Besar Universitas Tadulako, yang menilai bahwa reformasi kepolisian hanya akan bermakna jika menyentuh akar budaya kelembagaan dan nilai-nilai etik aparat penegak hukum.

Menurut Prof. Slamet, kebijakan ini merupakan langkah strategis pemerintah dalam memperkuat tata kelola sektor keamanan nasional dan menegakkan supremasi hukum yang akuntabel serta transparan. Namun, ia menekankan bahwa pembentukan komisi ini tidak boleh berhenti pada level administratif. “Reformasi sejati tidak bisa sekadar diukur dari perubahan struktur organisasi, tetapi harus meresap hingga ke ranah kesadaran moral aparatnya,” ujarnya.

Ia menilai, keberadaan komisi ini mencerminkan kesadaran pemerintah terhadap pentingnya membangun institusi hukum yang kredibel di mata publik. Namun di sisi lain, Prof. Slamet mengingatkan agar langkah ini tidak sekadar menjadi formalitas birokratik. “Tanpa pemaknaan yang mendalam terhadap nilai-nilai profesionalisme dan etika, reformasi berisiko kehilangan substansi,” tambahnya.

Dalam pandangan kritisnya, Prof. Slamet menyebut bahwa tantangan terbesar reformasi kepolisian bukanlah soal merancang ulang struktur organisasi, melainkan menumbuhkan kembali nilai-nilai integritas dan empati dalam tubuh Polri. Reformasi yang berorientasi nilai, katanya, adalah upaya menanamkan semangat pelayanan publik yang humanis dan menjunjung tinggi keadilan.

Lebih jauh, Prof. Slamet menyoroti perlunya keseimbangan antara aspirasi masyarakat sipil, kebutuhan negara, dan dinamika internal Polri. Menurutnya, komisi ini seharusnya menjadi ruang deliberatif yang menyatukan berbagai kepentingan dengan semangat independensi. “Komisi harus mampu menjadi jembatan konstruktif antara rakyat dan institusi hukum. Hanya dengan cara itu kepercayaan publik dapat dipulihkan,” tuturnya.

Guru Besar yang dikenal aktif meneliti isu tata kelola publik itu juga menilai bahwa reformasi kelembagaan Polri perlu dirancang secara sistemik dan berkelanjutan. Ia menegaskan bahwa transformasi nilai tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. “Diperlukan keberanian untuk mengevaluasi kultur yang sudah mengakar, bahkan jika itu berarti mengguncang kenyamanan internal,” tegasnya.

Ia juga menekankan pentingnya akuntabilitas eksternal dalam proses reformasi. Dalam konteks demokrasi modern, masyarakat sipil seharusnya memiliki ruang yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam pengawasan kinerja aparat. “Polri tidak boleh menutup diri dari kritik publik. Justru di situlah indikator kematangan kelembagaan diuji,” jelasnya.

Prof. Slamet menilai bahwa efektivitas Komisi Percepatan Reformasi Polri akan sangat bergantung pada integritas para anggotanya. Ia berharap agar anggota komisi tidak sekadar menjadi representasi politik, tetapi memiliki rekam jejak moral dan keilmuan yang kuat. “Komisi ini hanya akan berfungsi bila diisi oleh orang-orang yang berani, independen, dan berkomitmen pada keadilan,” ujarnya dengan nada tegas.

Lebih lanjut, ia mengingatkan agar reformasi kepolisian tidak dijalankan secara terburu-buru tanpa memperhitungkan kesiapan internal organisasi. Menurutnya, reformasi yang tergesa bisa berujung pada resistensi struktural dan kehilangan arah kebijakan. “Transformasi kelembagaan membutuhkan kesabaran strategis dan keteguhan moral,” kata Prof. Slamet.

Di sisi lain, ia juga mengapresiasi langkah pemerintah membentuk komisi ini sebagai bukti kemauan politik untuk memperbaiki institusi hukum. Namun, ia berharap agar pemerintah memberikan kewenangan yang cukup besar bagi komisi untuk bekerja secara independen. “Jangan sampai komisi ini terjebak dalam kontrol politik jangka pendek,” tambahnya.

Dalam penutup pandangannya, Prof. Slamet menegaskan bahwa reformasi kepolisian sejatinya adalah reformasi kemanusiaan — sebuah upaya menegakkan nilai moral dalam kekuasaan hukum. “Hukum tanpa nilai hanyalah alat kekuasaan. Polri yang berintegritas lahir dari kesadaran bahwa tugas mereka bukan sekadar menegakkan aturan, tetapi menjaga martabat manusia,” pungkasnya.

Dengan refleksi kritis tersebut, Prof. Slamet Riadi Cante menempatkan dirinya sebagai salah satu akademisi yang memberi warna dalam diskursus reformasi hukum dan keamanan nasional dari perspektif kebijakan publik. Pandangannya menjadi pengingat bahwa perubahan sejati hanya akan bermakna jika bersumber dari kesadaran moral yang tumbuh di dalam tubuh institusi itu sendiri.